Tertuju pada satu figur yang menetap penuh arti.
Seperti
biasa, selamat malam.
Untuk Tuan yang berhasil merenggut sepenuhnya rasa. Lantas meluluh-lantakkan semesta kecil ini, hingga seisi kepala hanya mampu tertuang dengan dirimu sebagai objeknya.
Apa kau tahu, bulan sepertinya
mulai membenci semesta. Buktinya ia tidak pernah hadir. Mungkin, alasannya
karena rintik yang senantiasa turun setiap sebelum senja hingga setelahnya.
Tapi, apa mungkin jika bulan
iri karena panggungnya dicuri oleh rintik lembut itu? Kekanakan sekali, ya?
Persis sepertiku yang ingin berhenti menjadi genangan, lantas merangkak pada
angkasa agar bisa menjadi bintang yang setidaknya sekali dalam semalam tanpa
tidurmu itu kau tatap.
Pernah sekali, kutemukan sebuah artikel yang membahas jika bintang yang kita lihat hari ini adalah cahaya dari masa lalu. Atas dasar itu, apa berarti kita pernah melihat bintang yang sama? Memikirkannya sesaat saja cukup membuatku senang. Mengingat perasaan ini melintasi waktu dan menembus berbagai dimensi, yang lantas menjadi bukti jika dirimu sebatas fiksi.
Pada tahap ini, rasanya garis fakta
serta fana seolah mengabur. Entah mungkin akibat diriku yang terlampau enggan
mengingat nyata. Atau dirimu yang begitu terasa ada.
Ah, bagaimana ya? Rasanya tidak
etis setelah membuatmu menghabiskan waktu membaca empat paragraf basa-basi
kosong tadi, kalimat yang ingin kusampaikan belum juga tertulis. Sedikit memalukan,
tapi untuk malam ini, benar-benar ingin kusampaikan. Di bawah pengaruh obat
flu, dan di ambang rasa kantuk yang membuat pandanganku sedikit berbayang
setiap kupejamkan mata.
Aku merindukanmu, yang bahkan belum
pernah sedetik pun bernapas bersamaku.
Komentar
Posting Komentar